INIMINSEL – Kabupaten Minahasa Selatan yang dinahkodai Bupati Minsel Christiany Euginia Paruntu dan Wabub Frangky Wongkr SH mulai menggagas konsep pemukiman daerah yang berbtasan dengan aliran sungai atau tepian lauat. Untuk pembangunan pemukiman yang aman dan nyaman maka digagaslah konsep pembanguan Waterfrot City atau pemukiman depan sungai atau tepian laut.
Selasa (29/11) kemarin, pihak Bapeda Minsel bersama sejumlah pemikir pemikir dari berbagai kalangan menyelengaranan suatu forum grup diskusi yang membicarakan khusus waterfron city di Kabupten Minahasa Selatan. Nampaknya juga Andre Umboh yang notabene tokoh Minsel yang banyak memberikan kontribusi pemikiran brilian buat pembangunan Minsel.
Lahirnya gagasan ini sebab dinilai wilayah Minahasa Selatan cocok running dengan konsep ini, karena di wilayah perkotaan Minsel, terdapat beberapa anak sungai sungai besar yang mengancam pemukiman penduduk bila tidak dikelola dengan baik. Seperti sungai di wilayah Tumpaan dan wilayah Amurang.
Sementara itu menurut HENRY ROY SOMBA, ST (Arsitek & Pemerhati Tata Kota), Konsep WaterFront City, sebenarnya adalah suatu solusi mengelolah bantaran sungai. Konsep ini berawal dari pemikiran seorang ‘urban visioner’ Amerika yaitu James Rouse di tahun 1970-an. Saat itu, kota-kota bandar di Amerika mengalami proses pengkumuhan yang mengkhawatirkan. Kota Baltimore merupakan salah satunya. Karena itu penerapan visi James Rouse yang didukung oleh pemerintah setempat akhirnya mampu memulihkan kota dan memulihkan Baltimore dari resesi ekonomi yang dihadapinya. Dari kota inilah konsep pembangunan kota pantai/pesisir dilahirkan.
Waterfront City adalah konsep pengembangan daerah tepian air baik itu tepi pantai, sungai ataupun danau. Pengertian “waterfront” dalam Bahasa Indonesia secara harafiah adalah daerah tepi laut, bagian kota yang berbatasan dengan air, daerah pelabuhan (Echols, 2003). Waterfront City/Development juga dapat diartikan suatu proses dari hasil pembangunan yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air dan bagian dari upaya pengembangan wilayah perkotaan yang secara fisik alamnya berada dekat dengan air dimana bentuk pengembangan pembangunan wajah kota yang terjadi berorientasi ke arah perairan.
Menurut direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Pedoman Kota Pesisir (2006) mengemukakan bahwa Kota Pesisir atau waterfront city merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap ke laut, sungai, danau dan sejenisnya. Pada awalnya waterfront tumbuh di wilayah yang memiliki tepian (laut, sungai, danau) yang potensial, antara lain: terdapat sumber air yang sangat dibutuhkan untuk minum, terletak di sekitar muara sungai yang memudahkan hubungan transportasi antara dunia luar dan kawasan pedalaman, memiliki kondisi geografis yang terlindung dari hantaman gelombang dan serangan musuh.
Prinsip perancangan waterfront city adalah dasar-dasar penataan kota atau kawasan yang memasukan berbagai aspek pertimbangan dan komponen penataan untuk mencapai suatu perancangan kota atau kawasan yang baik. Kawasan tepi air merupakan lahan atau area yang terletak berbatasan dengan air seperti kota yang menghadap ke laut, sungai, danau atau sejenisnya. Bila dihubungkan dengan pembangunan kota, kawasan tepi air adalah area yang dibatasi oleh air dari komunitasnya yang dalam pengembangannya mampu memasukkan nilai manusia, yaitu kebutuhan akan ruang publik dan nilai alami. Aspek yang dipertimbangkan adalah kondisi yang ingin dicapai dalam penataan kawasan. Komponen penataan merupakan unsur yang diatur dalam prinsip perancangan sesuai dengan aspek yang dipetimbangkan. Variabel penataan adalah elemen penataan kawasan yang merupakan bagian dari tiap komponen dan variabel penataan kawasan dihasilkan dari kajian (normatif) kebijakan atau aturan dalam penataan kawasan tepi air baik didalam maupun luar negeri dan hasil pengamatan di kawasan studi (Sastrawati, 2003).
Penerapan Waterfront City di Indonesia
Penerapan waterfront City di Indonesia telah dimulai pada zaman penjajahan Kolonial Belanda di tahun 1620. Pembangunan konsep waterfront di terapkan oleh para penjajah yang menduduki Jakarta atau Batavia saat itu untuk membangun suatu kota tiruan Belanda yang dijadikan sebagai tempat bertemunya lalu lintas perdagangan. Penataan Sungai Ciliwung saat itu semata-mata hanya untuk kelancaran lalu lintas semata. Pada zaman Indonesia merdeka, pembangunan yang berbasis kepada paradigma kelautan sudah didengung-dengungkan sejak terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan di Tahun 1999 yang lalu.
Pemicunya adalah kesadaran atas besarnya potensi kelautan dan perikanan perairan Indonesia yang secara laten terus menerus mengalami penjarahan oleh negara tetangga. Selain itu mulai berkurangnya pemasukan negara dari sektor hasil hutan dan tambang juga mejadi pemicu. Fakta menunjukkan, bahwa sekitar 60% dari populasi dunia berdiam di kawasan selebar 60 km dari pantai dan diperkirakan akan meningkat menjadi 75% pada tahun 2025, dan 85% pada 2050. Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sendiri menyebutkan bahwa sejumlah 166 kota di Indonesia berada ditepi air (Waterfront).
Banyaknya jumlah kota yang berada di daerah pesisir dapat menimbulkan beberapa permasalahan pada kota itu, jika tidak di tata dengan baik. Permasalahan yang dapat ditimbulkan yaitu pencemaran, kesemerawutan lingkungan, dan sampah. Kekumuhan lingkungan tersebut juga dapat menimbulkan masalah kriminalitas didaerah tersebut. Oleh karena itu, pembangunan kota pesisir di Indonesia harus memecahkan permasalahan tersebut. Penerapan Waterfront City di berbagai kota di Indonesia diharapkan mampu untuk memecahkan permasalahan yang timbul akibat tidak tertatanya kota-kota pesisir yang ada.
Dampak dari Bencana Banjir di Bantaran Sungai & Upaya Pencegahan Dini
Fenomena terkini dalam 2 tahun terakhir di awal tahun 2013 dan 2014 ini, Ibu kota Jakarta tergenang banjir. Tetapi beberapa daerah di Indonesia juga diterjal banjir dan tanah longsor, dan salah satu daerah bencana yang tergolong parah yaitu Kota Manado dan MINAHASA SELATAN. Banjir yang beruntun ini berakibat pada kerusakan lingkungan, infrastruktur dan korban jiwa, sehingga menyebabkan terhambatnya berbagai aktivitas perekonomian dan transpotasi, yang berakibat korban dan kerugian sangat besar nilainya.
Bencana tersebut dikarenakan perencanaan dan pembangunan tidak terpadu, akibat tidak seimbangnya kemampuan dan kecepatan pemerintah dalam membangun prasarana kawasan dalam mengembangkan penataan kawasan perkotaan. Ketidak mampuan koordinasi sistem tata air perkotaan dalam mengendalikan banjir, salah satunya dikarenakan kurangnya koordinasi dalam pengelolaan sumber daya air khususnya pada daerah aliran sungai kurang ditangani secara holistik dan profesional, yang berakibat banjir di kawasan perkotaan. Hal ini dipicu oleh perilaku pengguna yang tidak peduli terhadap keberadaan fungsi sungai. Padahal, PBB setiap tahunnya memperingati tanggal 22 Maret sebagai World Water Day.
Sebuah penelitian dilakukan untuk merumuskan model pengembangan water front city sebagai alternatif penataan kawasan dalam menanggulangi banjir di perkotaan melalui peningkatan peran serta masyarakat, dengan melibatkan keterpaduan antar stakeholders terkait secara holistik dan berkelanjutan dengan pendekatan partisipatif. Rumusan model pengembangan water front city didasarkan pada metode panduan antara kajian laboratorium perencanaan dan perancangan tata ruang dan lingkungan perkotaan yang berbasis pada pendekatan mitigasi bencana, serta laboratorium sungai untuk penataan ulang tata air, tata ruang dan lingkungan sebagai perencanaan luapan aliran air dan area resapan yang ramah lingkungan.
Dimantapkan dengan kajian setting perilaku yang mengidentifikasi aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat dengan pendekatan partisipatif. Penataan ulang tata air, tata ruang dan lingkungan dikaji melalui pemetaan setting kawasan secara fisik empirik dan sosial mapping terhadap sosekbud masyarakat. Penataan kawasan dilakukan dengan pendekatan SWOT yang dikaitkan dengan RT/RW setting lokasi kegiatan, sedangkan sosial mapping melalui partisipatif FGD dan PRA yang dikaitkan dengan kearifan lokal dari potensi sumber daya alam dan masyarakat. Lokasi penelitian pada kawasan daerah aliran sungai Bengawan Solo Surakarta, sedangkan objek penelitian adalah penataan ulang tata air dan tata ruang yang berkaitan dengan apresiasi perubahan perilaku masyarakat.
Dari hasil penelitian tahun (2009) telah menghasilkan rumusan draft model pengembangan water front city sebagai alternatif penataan kawasan dalam menanggulangi banjir di perkotaan. Diawali dari pengertian akan harfiah Water front city dapat diartikan sebagai kota tepi air; atau kota yang menghadap/berhadapan dengan air. Namun demikian istilah water front city mengandung berbagai arti yang khas yang mengungkapkan sebab dan tujuannya, yaitu dapat diartikan sebagai kota yang memanfaatkan Sungai/saluran drainase sebagai sarana transportasi, rekreasi, dan sumber penghidupan lainnya.
Pengembangan water front city, akan mempunyai dampak Positif terhadap masyarakat sekitar sungai, karena masyarakat sekitar dapat manfaat dari naiknya muka air tanah, sehingga dapat dipergunakan sebagai sarana rekreasi/wisata tirta, olahraga dan alternatif transportasi. Adapun fungsi utama Water front city yaitu adanya kolam yang akan berfungsi sebagai retarding basin, yang akan meredam aliran banjir lokal sehingga berguna sebagai penampungan banjir sementara. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan dalam penerapan kebijakan, aturan dan pedoman, khususnya yang berkaitan dengan penataan kawasan yang humanis di daerah maupun perkotan. Dengan demikian, sebagai langkah awal perlu dilakukan penelitian yang dapat menghasilkan rumusan model pengembangan Water front city sebagai alternatif menanggulangi banjir di perkotaan melalui peningkatan peran masyarakat dan kearifan lokal, sehingga terwujud city without flood.(franny sengkey)