inimanado.com, Amurang – Kunjungan Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, ke kantor KPU pada Selasa (12/5/2015), menyulut konflik dari rival politiknya, Partai Golkar. Langkah Hasto dinilai sebagai bentuk intervensi kekuasaan dan arogansi dari partai penguasa. Penilaian Golkar itu erat kaitannya dengan sikap PDIP yang menolak secara tegas revisi Undang-Undang Pilkada No. 8/2015. Fraksi lain di DPR khususnya koalisi Merah Putih (Gerindra, PKS, Golkar, PAN), mendukung revisi. PDIP menilai perubahan UU Pilkada berpotensi mengganggu tahapan pilkada serentak 2015. Seperti diberitakan, DPR mengusulkan merevisi UU tersebut untuk memasukkan opsi baru dalam menentukan kepengurusan sah parpol yang berkonflik, Golkar dan PPP. DPR meminta ada opsi “berdasarkan putusan hukum yang ada sebelum pendaftaran” selain opsi inkracht (putusan berkekuatan hukum tetap) dan islah (berdamai). Dalam jumpa pers sebelum maupun sesudah pertemuan Hasto dengan KPU, kedua belah pihak sama-sama mengatakan tidak ada pembicaraan soal dualisme parpol dan rencana revisi UU.
“Itu (revisi) bukan bagian dari kami (PDIP). Jadi kami tidak akan membicarakannya,” ujar Hasto. Dia mengatakan hanya akan memperkenalkan kepengurusan PDIP yang baru pasca kongres PDIP April lalu. PDIP juga akan menyampaikan dukungan maupun kritikan kepada KPU dalam persiapan pilkada serentak. “Kami kritisi hal-hal teknis seperti daftar pemilih tetap agar hak pemilih bisa dipastikan. Tahapan-tahapan pilkada serentak juga butuh dukungan parpol sebagai peserta pemilu,” kata Hasto yang didampingi Ketua DPP Andreas Hugo Parera dan Ketua Departemen Bidang Internal, Sudyatmiko Aribowo. Sekretaris Fraksi Golkar di DPR, Bambang Soesatyo, mengatakan desakan Hasto agar KPU tetap berpegang pada SK Menkumham untuk parpol peserta pilkada serentak saat menyambangi kantor KPU, merupakan bentuk intervensi kekuasaan dan arogansi dari partai penguasa. “Hasto lupa bahwa tidak ada jaminan PDIP pada pemilu 2019 mendatang bisa memenangkan kembali permainan,” ucap anggota Komisi III DPR itu.
Golkar mengingatkan Hasto sebagai sekjen PDIP untuk tidak bertindak dan bersikap seperti pemilik tunggal bangsa ini. “Kita setuju kalau dasarnya SK Menkumham. Tapi persoalannya kalau SK Menkumhanm itu sendiri bermasalah dan ditunda keberlakuannya oleh pengadilan melalui putusan sela dan tengah proses hukum di pengadilan negeri, bagaimana?” tutur Bendahara Umum DPP Golkar itu. Pria yang akrab disapa Bamsoet itu yakin Hasto paham DPR akan menggunakan hak angket pelanggaran UU dan intervensi pemerintah terhadap parpol pada persidangan pekan depan. “Itu akibat kebijakan Menkumham Laoly mengeluarkan SK yang mengesahkan kubu Ancol dengan dasar keputusan Mahkamah Partai Golkar yang dimanipulasi dan melanggar UU Partai Politik sebagaimana kesimpulan komisi III DPR saat RDP dengan Menkumham beberapa waktu lalu,” kata dia. (Yudi)