Iniminsel- Prevalensi stunting pada anak di Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran di jajaran teratas pemerintahan. Pada 2013, 37,2 persen anak balita di Indonesia (hampir 9 juta anak) mengalami stunting, 19,6 persen kekurangan berat badan, sementara 11,9 persen kelebihan berat badan atau mengalami obesitas. Stunting adalah kondisi malnutrisi kronis dan penyakit berulang pada anak.
Hal inilah yang kemudian memicu Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) menggelar Pelatihan Kader Pembangunan Manusia (KPM) di Amurang, Minahasa Selatan (Minsel), Rabu (3/7/2019). Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) melalui Sekretaris Altin Sualang. Menurutnya satu dari tiga anak Indonesia menderita stunting.
“Jika kita tidak melakukan upaya dengan sungguh-sungguh, maka kualitas sumberdaya manusia Indonesia akan tertinggal dibanding negara-negara di Asia Tenggara, bahkan dengan negara salah satu negara di Afrika sekalipun,” kata dia.
“Masyarakat sering mempertanyakan, kenapa tinggi dan pendek dipersoalkan, bukanya ini hal yang biasa kita lihat sehari-hari? Pada masyarakat agraris di perdesaan, cenderung tidak mempersoalkan tinggi atau pendek badan, yang penting badannya kuat untuk bekerja di sawah, ladang, peternakan, dan perkebunan,” tambah Sualang.
Ini merupakan tantangan ketika mengajak masyarakat untuk peduli pada persoalan stunting.
Akibat dari stunting tidak hanya pada persoalan berbadan pendek saja, namun ada hal yang lebih penting dari hal tersebut, yaitu adanya tingkat kecerdasan yang lebih rendah sehingga dapat menimbulkan beberapa permasalahan.
Workshop yang berlangsung di Hotel Sutan Raja akan berlangsung selama tiga hari dan ditutup pada Jumat (5/7/2019). Peserta yang hadir perwakilan dari 166 desa se-Minsel. (Yudi)